Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2020

Elegi Sang Pertiwi

Gambar
     Pos Kamling. Ya, tempat aku dan pak Hansip selalu bertukar cerita. Ceritanya bukan tentang Percintaan si Romi dan Juliet. Atau tentang Si Anjing Mencuri Makanan di Rumah pak Lurah. Bukan. Kami selalu bercerita tentang keadaan Negri yang kami pijak. Negri yang aku dan pak hansip banggakan. Dan mungkin bukan hanya Aku dan pak hansip yang bangga dengan Negri ini, orang yang ingin menghancurkan Negri  ini pun pasti bangga.(mungkin)!. Ahh.. lupakan hal itu.   “Tin, malam ini ada berita duka”. “Duka apalagi”, tanyaku. “Ngga tau Tin. Soalnya aku mendengar Indonesia sedang menangis meratapi duka itu'. Aku sempat bergumam diri, apalagi yang terjadi dengan ngerikku. Akhirnya, kuselidiki apa yang membuat Negri yang aku cintai  kembali menangis. Tepat di pojok kiri Kamling, aku melihat tulisan besar. “CUCI TANGAN, WASPADA CORONA”. Aku tak tahu kapan tulisan itu di tempel dan apa maksud dari tulisan itu.    Aku pun bergegas dari sisi kiri Kamling dan menuju ke pak Hansip sambil membawa k

Rata Net (Lelaki Tanpa Kepalsuan)

Gambar
    Rata Net.  Begitulah julukan bagi seseorang yang bagiku adalah pahlawan dalam segala hal. Kekuatan dan ketajamannya memainkan peranan sebagai Caci Dancer dan Danding Dancer, ketulusan dan kerendahan hatinya menjaga dan mendidik kami buah hatinya adalah esensi bagiku menyebutnya sebagai seorang pahlawan. Tak peduli apa kata orang tentang si Rata Net ini. Bagiku, Beliau adalah sosok yang sangat istimewah. Tak memandang teriknya sinar matahari, ia membanting tulang demi kami buah hatinya. Keluhan tak pernah ia lantunkan. Hanya  Doa dan harapanlah yang selalu di lantunkan di setiap tangan dan kaki tak mampu lagi bergerak ke arah yang dibawa.      Sedikit saya berkisah tentang perbincangan kami beberapa tahun silam. Di sela-sela kesibukannya membangun pondok tempat beliau dan orang lain nantinya akan berteduh, saya memancingnya untuk bercerita. Sambil menghapus keringat yang bercucuran di wajah keriputnya, ia mulai berkisah. “Nak, Aku dulu pernah menjadi kamu. Aku selalu melihat nenekm

Tugu Perenungan (Kisah kecil yang membuat Aku bangkit menjadi seorang Pancasilais)

Gambar
      Pernah suatu kali aku duduk dan bersandar di tugu Pantai Melasti. Pantai dengan panorama indah nan menawan. Desiran ombak yang membelah laut menghiasi indahnya paras pantai. Belum lagi disuguhi dengan panorama yang sulit ditemukan di pantai-pantai lain. Anak-anak bermain pasir, ditemani ibunda tercinta menanam bendera Merah Putih di atas pasir putih. Sungguh panorama yang indah.  Dari tugu ini, aku sedikit ingin berkisah tentang Bendera Merah Putih yang ditanam ibunda dan anaknya. Kisahnya singkat. Sesingkat kata I Love You. Singkat dan penuh makna. He..he..he.. ceritanya demikian..      Dari ketinggian dan kejauhan inilah kumenatap indahnya Indonesia. Indahnya Pancasila. Tak hanya itu, dari sinipun aku bisa melihat orang yang sedang mengais ngais tubuh Pancasilaku. Ingin menghancurkan mungkin. Aku tak tahu.  Orang orang itu tampaknya rapi. Berjas, pantofel, ikat pinggang dan sangat elok parasnya. Itu mungkin orang yang selalu duduk di gedung ber-AC tingkat tinggi.  Di sisi lain

Gubuk Penimbun Kisah

Gambar
   Aku pernah duduk di sebuah Gubuk. Di sebuah kursi tua nan kusam tepatnya. Sempat kutebas debu di kursi tua itu, tetapi debunya tak kunjung menepi. Melekat bak karat yang telah sekian tahun menempel di besi. Kududuk santai di kursi tua itu, sambil menikmati sebats dari mahkota pohon jagung. Mengisi kesunyian gubuk, aku membaca buku karya novelis sejarah, Pramoedya Anantha Toer namanya. Novel itu seakan membawaku ke dunia silam. Ke dunia dimana rakyat Indonesia tidak pernah merasakan kedamaian sebagai seorang ciptaan Tuhan yang mulia. Miris.       Singkat kisah, setelah aku membaca novel itu tak sengaja mataku menatap ke luar  jendela gubuk. Kulihat pemandangan yang sangat mengerikan. Pemandangan itu seakan sama seperti yang terjadi dalam kisah kelam Indonesia dalam buku yang telah kubaca tadi. Kulihat rumah tua, yang kusangaka adalah gubuk penimbun sampah. Belum kuhabiskan sebatang sebatsku, akupun bangkit dan menuju ke Rumah tua itu. Tok..tok..tokk. bunyi pintu rumah itu ketika ku

Tentang Malam yang Merindukan cahaya Purnama (Jumat Kliwon di Pos Kamling Desa Bangka La"o)

Gambar
    Ini tentang malam. Malam yang selalu merindukan cahaya bulan. Bersukalah ia ketika melihat bulan memancarkan cahaya purnamanya. Sungguh malang nasib si Malam. Hari-harinya dihabiskan untuk menulis larik tentang cahaya purnama. Bukan untuk dipuji oleh si Siang ataupun si Sore yang selalu memberinya gelap.  Bukan. Ini semata mata untuk meluapkan segala sesuatu yang ia rasakan tentang cahaya purnama. Ia ingin cahaya purnama tak hanya menerangi Dirinya yang sedang rapuh oleh kegelapan. Malam ingin cahaya purnama bisa menerang hati semua penghuni bumi. Menerangi segala hal. Tarmasuk hati dan pikiran mereka agar bisa melihat sesuatu dengan terang kasih Purnama.   Aku ingin berkisah tentang perbincangan antara Si Malam, Aku dan pak Lurah saat kami menikmati purnama di jumaat Kliwon tahun lalu. Ketika itu, aku dan pak Lurah sedang asyik duduk di Pos kamling Desa Bangka La'o. Saat aku dan pak lurah asyik berbincang tentang Kelam menyelimuti desa, datanglah si malam menghampiri kami.

Pencarian Seorang Pendaki (Kisah Kecil dari Aku yang selalu Ragu)

Gambar
          Aku selalu berdiri di pucuk gunung ketika masalah menerpa pertiwiku. Bukan untuk apa-apa tetapi hanya untuk memandang apa yang sebenarnya sedang terjadi pada bumi pertiwiku. Aku selalu disangka gila oleh teman bahkan kerabat pribadiku. Melihat aku mendaki gunung, membawa lentera kecil, bahkan memikul ransel yang isinya adalah kumpulan dengungan tak jelas dari penduduk pertiwi. Aku sebenarnya malu akan semua ejekan itu. Tetapi aku punya misi. Misi besar untuk menangkal semua dengungan tak jelas itu yang sudah kusimpan semua dalam ransel miliku. Aku tak ingin penduduk di bumi Pertiwi menjadi terbawa oleh derasnya kebohongan penduduk lain yang kusebut sebagai konsumerisme.      Pernah sekali. Berita tentang masalah besar menerpa bumi pertiwiku. Katanya, Maslah itu adalah titipan dari tetangga sebelah. Dititip lewat orang mereka, sehingga siapapun yang dengan sengaja atau tidak sengaja  menerima titipan itu akan menjadi sama seperti mereka yang empunya titipan. Itu kira-kira yan