Elegi Sang Pertiwi

     Pos Kamling. Ya, tempat aku dan pak Hansip selalu bertukar cerita. Ceritanya bukan tentang Percintaan si Romi dan Juliet. Atau tentang Si Anjing Mencuri Makanan di Rumah pak Lurah. Bukan. Kami selalu bercerita tentang keadaan Negri yang kami pijak. Negri yang aku dan pak hansip banggakan. Dan mungkin bukan hanya Aku dan pak hansip yang bangga dengan Negri ini, orang yang ingin menghancurkan Negri  ini pun pasti bangga.(mungkin)!. Ahh.. lupakan hal itu.
  “Tin, malam ini ada berita duka”. “Duka apalagi”, tanyaku. “Ngga tau Tin. Soalnya aku mendengar Indonesia sedang menangis meratapi duka itu'. Aku sempat bergumam diri, apalagi yang terjadi dengan ngerikku. Akhirnya, kuselidiki apa yang membuat Negri yang aku cintai  kembali menangis. Tepat di pojok kiri Kamling, aku melihat tulisan besar. “CUCI TANGAN, WASPADA CORONA”. Aku tak tahu kapan tulisan itu di tempel dan apa maksud dari tulisan itu.
   Aku pun bergegas dari sisi kiri Kamling dan menuju ke pak Hansip sambil membawa kebingungan tentang arti dari tulisan itu. “Pak hansip, aku menemukan ada tulisan besar di sisi kiri Kamling. Apa maksud dari tulisan itu”?. Pak Hansip pun sontak menjawab.” Ohhh, tulisan itu. Tulisan itu aku yang nempel tadi tin. Disuruh pak lurah. Katanya, ada virus yang menyerang Negri ini. Oleh karena itu, pak lurah mengajak kita semua untuk mencuci tangan. Katanya sih untuk menangkal virus itu”. Aku pun belum puas mendengar penjelasan dari pak Hansip. Aku kembali bertanya. “CORONA itu Virus ya pa Hansip?. “Iya, Virus”, jawabnya santai. Seolah-olah tak ada rasa cemas dalam dirinya.
     Mengetahui arti dari tulisan itu, aku langsung mengetahui jawaban mengapa negeriku kembali menangis. Rupanya, Negri yang kubanggakan ini kembali diterpa maslah. Ngeriku memang selalu diterpa derita. Hampir setiap aku nonton di TV, selalu saja membahas terkait Negri dan kebobrokan yang terjadi di sekujur tubuhnya. Sungguh malang nasibmu Negriku.
    Singkat kisah, Aku pun mulai menulis Elegi singkat. Elegi ini kutulis untuk Pertiwiku yang selalu diterpa derita. Derita dari penghuninya ataupun derita titipan orang. Orang yang selalu ingin melihatnya hidup dalam gubuk penderitaan. Kutulis elegi ini di samping kiri pak Hansip yang sedang Menikmati sebatang sebats. Eleginya demikian;
     Wahai Ngeriku. Negri yang aku selalu banggakan. Kapankah aku bisa melihatmu bergembira dan bersukaria di atas tanahmu yang kaya? Hei! Kamu sadar, tidak? Engkau itu kaya. Mengapa engkau sedih di atas kekayaanmu? Alam yang subur, panorama yang indah, suku dan ras yang beragam, bahkan seluruh dunia memujimu indah dan kaya. Tetapi mengapa? Mengapa engkau tidak pernah menerima itu sebagai kesukaan? Derita apakah yang membuat engkau sedemikian sedihnya? Rupanya, ngeriku mendengar gumamku. Ia pun menjawab semua gumamku di tengah derita menerpanya.
       Hei Martin. Aku Indonesia. Apakah engkau buta? Lihat kebobrokan di sekujur tubuhku. Setelah sampah, eksploitasi, kebakaran hutan, korupsi menerpa diriku, Kamu dan kawanmu dan seluruh penghuni badanku merima titipan dari Negri seberang. Titipan yang membuat diriku tambah rapuh dan tak berdaya. Entah kamu sadar atau tak sadar, titipan itu sedikit demi sedikit akan menghancurkan kamu dan seluruh penghuniku.  Aku ingin menyampaikan pesan kepadamu. Ikuti perintah Sang Rajamu si Joko. Dia mungkin akan membuat kamu bisa kembali bernapas lega. Itu akan sedikit membuat deritaku hilang.
         Mendengar jawabannya yang begitu keras, Aku pun merenung. Belum sempat beberapa detik kumerenung, tiba tiba pak hansip menepuk pundak ku dan mengucapkan kata kesukaannya, “Makan Malam udah siap”. He..hehe..he. dasar pak hansip.  Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pak, Kami Pada Mu!

Kisah Tentang Mimpi yang Tak Berlanjut

Esensi Pendidikan dan Terobosan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTM) dari KEMDIKBUD