Gubuk Penimbun Kisah

   Aku pernah duduk di sebuah Gubuk. Di sebuah kursi tua nan kusam tepatnya. Sempat kutebas debu di kursi tua itu, tetapi debunya tak kunjung menepi. Melekat bak karat yang telah sekian tahun menempel di besi. Kududuk santai di kursi tua itu, sambil menikmati sebats dari mahkota pohon jagung. Mengisi kesunyian gubuk, aku membaca buku karya novelis sejarah, Pramoedya Anantha Toer namanya. Novel itu seakan membawaku ke dunia silam. Ke dunia dimana rakyat Indonesia tidak pernah merasakan kedamaian sebagai seorang ciptaan Tuhan yang mulia. Miris.
      Singkat kisah, setelah aku membaca novel itu tak sengaja mataku menatap ke luar  jendela gubuk. Kulihat pemandangan yang sangat mengerikan. Pemandangan itu seakan sama seperti yang terjadi dalam kisah kelam Indonesia dalam buku yang telah kubaca tadi. Kulihat rumah tua, yang kusangaka adalah gubuk penimbun sampah. Belum kuhabiskan sebatang sebatsku, akupun bangkit dan menuju ke Rumah tua itu. Tok..tok..tokk. bunyi pintu rumah itu ketika ku ketuk. “Gereng cekoen”. Terdengar suara nenek tua Bangka yang belum kutahu parasnya. “Tuang, manga perlu ite Mai lejong ce Mbaru daku bo. Melet ATA pake deko Lewe Wedi one para Mbaru daku”.  Sempat kaget kumendengar celoteh dari mulut si nenek tua itu. Mulut yang berlumur cairan merah.
      Nenek itu mempersilahkan aku untuk duduk bersilah di tikar hasil anyamannya. Mungkin, tikar itu adalah satu satunya barang berharga yang akut lihat di rumah tua itu. Aku akhirnya memancing nenek itu untuk berkisah tentang hidupnya. Mendengar kisahnya, aku merasa tertegun dan terharu. Mendengar kisah perjuangannya untuk hidup dan bisa makan sehari hari. Akan tetapi, yang aku paling terharu adalah ia berkisah bahwa rumahnnya itu tidak pernah dikunjungi oleh orang yang bercelana panjang dan bersepatu. Bahkan, iya tidak pernah sedikitpun diberikan kado oleh orang yang berjanji memberikannya kado. Iya berkisah sambil meneteskan air mata. Tak hanya air mata, butiran cairan merah dari hasil kunyahannya pun keluar menemani air mata yang jatuh dari mata keriputnya. Akupun ikut menangis.
     Kisahnya itu memberi aku banyak palajaran. Dari kisahnya, akupun menulis larik, yang sedikitnya memberikan gambaran kehidupan si nenek tua itu. Lariknya demikian:

Kami orang berTuan
Berdiri dan duduk di tanah yang indah nan subur.
Bahkn tanahkuKu kaya.
Kini,
Tuan kami hilang.
Terbawa oleh derasnya ombak keindahan  dan kesuburan tanah kami.
Lupa akan anaknya.
Anakanya kini hidup bersama ganasnya cekatan siang.
Melumpuhkan segala mimpi di benak.
Di gubuk kami hidup.
Air aki kami minum.
Di pembuangan kotoranmu kami bersumur.
Lihatlah kami.
Kami yang tertatih-tatih mencari arti mimpi.
Mimpi yang akan tetap menjadi angan.
Dan mungkin selamanya akan tetap menjadi anagn-angan.
Sekali lagi,
Aku bukan tuan Nek.
Aku hanyalah aku.
Yang kebetulan memakai pantofel dan celana panjang.
Ini karena tugas nek.
Tugas untuk membuat gubukmu
Menjadi rumah tua
Yang layak tingggal.
Semoga!





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pak, Kami Pada Mu!

Kisah Tentang Mimpi yang Tak Berlanjut

Esensi Pendidikan dan Terobosan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTM) dari KEMDIKBUD